Minggu, 02 Januari 2011

rasa pulang

 CELEBRATE ME HOME

I'm going home today,
i believe me I've missed each and every face,
get there and play my music,
Turn on every love light in the place

It's time I found myself,

Totally surrounded in that circles
Oh,my friends

Please, celebrate me home,

Give me a number,
please, celebrate me home
Play me one more song,
That I'll always remember,
I can recall
whenever I find myself too all alone,
I can sing me home.

Uneasy highway,

Traveling where the Westerly winds can fly,
Somebody tried to tell me,
But the man forgot to tell me why,

I gotta count on being gone,

Come on mama, come on daddy,
Be what you want me as
I'm this strong, I'll be weak

Please, celebrate me home,

Give me a number,
please, celebrate me home
Play me one more song,
That I'll always remember,
I can recall,

whenever I find myself too all alone,

I can make believe I've never gone.

Please, celebrate me home,

Give me a number,
please, celebrate me home
Play me one more song,
...
Play me one more song,
Hey,
somebody said,
celebrate me home
i cant, wait to see ya,

i can't, wait to hold you,

you know i miss you, yeah.

come on and,

Celebrate, celebrate, celebrate me home,
Celebrate, celebrate, celebrate me home,

Well you know I'm finally here,

And you don't have to worry,
no,no...
no no no no no no

So come on and celebrate, celebrate, celebrate me home. 

terinspirasi menulis cerpen setelah mendengar lagu celebrate me home yang dibawakan ulang oleh ruben studdart. samar dan lamat saya mendengar suara yang sudah saya hafal dari tayangan american Idol di tahun 2008.

RAYAKAN PULANGKU BAPA

Aku pulang hari ini bapa. Meski tubuhku tak lagi utuh. Berbekal mimpi yang kau bantu bangun mengenai yang terbaik dari situasi paling buruk. Bersama amarah yang tak lagi tersulut. Bersama permohonan paling halus tentang kaki, tentang berlari. Bersama kesadaran bahwa manusia juga bisa hidup tanpa kaki. Bahwa manusia tidak harus dapat berlari.
Nyanyikan sebuah lagu yang dulu sering kita dendangkan bersama. Nyanyikanlah lagu untukku. Sewaktu tanganku genggam erat jemarimu bersama seulas senyum yang tak lekas pergi. Sewaktu kesedihan terasa manis.
Sebab…
Kesedihan hatiku terasa bergumpal-gumpal. Aku tak pernah mengerti darimana datangnya. Tahu-tahu ia mampir sebentar dan pergi meninggalkan perih yang tak hilang-hilang. Kesedihanku terasa pekat. Aku tak pernah bisa menghapus perasaan yang semakin hari terasa kian memberatkan. Kesedihanku tak bernama. Aku percaya kesedihanku bernyawa. Ia ada dalam aku dan aku tak bisa mengabaikannya. Aku hidup bersama dia. Dia yang menggerogoti semangatku.
Bagaimanakah rasanya mati bapa?
Dan kau jelaskan padaku waktu itu. Di bawah naungan pohon kresen. Sewaktu kita menunggu antrian pembayaran listrik. Limabelas tahun silam. Seragamku masih merah putih. Kau berkata mati tidak sakit. Kau berkata rasanya biasa saja. Lalu kau diam panjang. Mengumpulkan butir-butir kresen merah seperti biasanya. Kita nikmati itu buah dalam genggaman tanganku yang kecil.
Apa yang ditanyakan Tuhan ketika kita nanti berjumpa Bapa?
Barangkali Tuhan bertanya apa yang telah kau lakukan di dunia. Barangkali itu tidak membuatmu nyaman. Kau mungkin resah. Menyesal dan merasa bersalah. Mungkin kamu membela diri. Ada saatnya kamu membela diri. Meski kamu tahu itu tidak betul-betul benar. Itu tidak betul-betul perlu.
Kau berkata kematian seperti tumbuh besar. Pertamanya kamu takut seperti hari pertama masuk sekolah. Tapi kamu juga bergairah. Tahu-tahu kamu sudah di kelas dan menikmati hari bersama teman-teman dan bu guru.
Kematian mempesonaku bapa. Semenjak aku tahu rasanya kehilangan dan tak menemukan kembali. Aku belum mengenal sedih. Barangkali pemahaman halus itu muncul bersama tangis yang sebentar. Pastilah kematian berasa sepi. Ketika aku harus berpisah dengan segala hal yang telah ku kenal dengan baik dan segala hal yang paling kusayangi.
Bukankah seperti itu? Tidakkah itu sedih?
Kau memandangku lebih dalam, menggeleng dengan senyuman meski matamu berkilat pedih. Aku menangis geru-geru. Bapa memegang daguku dan menyuruhku memandang ke depan.
Lalu kita menyanyi…
Kupu-kupu yang lucu…ke mana engkau terbang…hilir mudik mencari….bunga-bunga yang kembang….berayun-ayun….pada tangkai yang lemah….tidakkah sayapmu….merasa lelah.
Aku lelah bapa. Aku ingin sudah. Meski keingintahuanku belum tuntas dan kegetiran ini terasa pekat. Izinkan aku pergi saja bapa…. Meski sedih dan sepi. Aku tidak takut mati. Aku justru lebih takut hidup. Aku menanggungkan banyak pertanyaan dan telah siap. Aku sudah tidak butuh jawaban lagi. Biarkan Dia hapus airmataku. Dan Maut tidak akan ada lagi. Tak akan ada lagi perkabungan atau ratap tangis atau duka cita. Sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.
Bagaimana perasaanmu hari ini cinta?
Rasanya tidak enak bapa. Rasanya tidak hangat-hangat. Gerakanku terbatas. Aku ingin marah-marah terus. Hatiku masih saja mendidih.
Dan kumohon, berbisiklah saja. Sebab suara-suara gemuruh dari segala penjuru berpusar mengitari aku. Mereka berisik sekali. Tidak mengerti susahku. Tawa-tawa itu bapa, milik orang lain. Senyum-senyum itu bapa, miliknya orang bahagia. Dan aku terjebak bersama sakit hati yang parah.
Apa yang kamu inginkan cinta?
Ada banyak hal yang ingin kumiliki. Tetapi jika Tuhan beri satu permintaan saja, buatlah aku berlari dan meninggalkan jejak kaki yang berarti.
Ia pasti mendengarmu cinta. Bersabarlah sayang, kita lalui bersama.
Ini kejujuran hatiku bapa. Ada masa ketika. aku kehilangan kemampuan untuk merasa nyaman dan bahagia. Aku kehilangan kendali pada volume suara. Semua yang kudengar terasa bertumpuk-tumpuk dan keras. Sehingga aku merasa harus memaki untuk bisa didengarkan.
            Aku menaruh curiga terhadap apapun. Aku merasa udara bersekongkol untuk menyiksaku. Sebab ia tak berwarna pun tak berbau. Seperti udara, aku merasa masa depan mengkhianatiku lebih dahulu sebab ia tidak pasti dan aku tak dapat menggenggamnya. Dan hidup dalam ketakutan itu terasa amat menyiksa. Tubuhku tidak mau diistirahatkan. Berbulan-bulan aku tidak dapat tidur, baik di waktu siang maupun malam.
            Mataku tidak dapat berkompromi dengan cahaya. Apa yang kulihat seperti bintik-bintik besar dan membayang. Aku kepayahan untuk menentukan waktu. Karenanya aku tidak menyadari bahwa hari bisa berganti.
            Pada masa-masa itu di dalam kepalaku selalu terdengar suara-suara dan otakku menerjemahkan segala bunyi, sinar, sentuhan, ucapan, pengertian secara berlebihan.
Pada masa-masa itu aku bukan seseorang. aku tidak bisa mengingat. Sekuat apapun aku berusaha memancing ingatan itu. Ia tetap tidak datang. Dan aku tahu ia bersembunyi di lapaisan bawah sadarku. Pada masa-masa itu aku merasa tak berguna. Kemudian hampa. Ketika kau menanyakan perasaanku hari ini,  aku akan membentakmu tanpa alasan. Ketika kau memaksaku duduk di depan komputer dan menggiringku untuk melihat foto-foto masa lalu untuk mengingatkan bahwa aku adalah juga seseorang yang pernah hidup dan bahagia. Aku hanya menatap lurus-lurus. Aku tak mampu mengolah kenangan pada gambar-gambar.
Bapa, aku tahu kita jengkel dan mangkel akibat pembiaran ini. Kita kebingungan mencari tahu sendiri di tengah situasi serba panik dan tanpa petunjuk. Bapa tahu aku membutuhkan kepastian untuk menyusun kembali mimpi-mimpiku. Untuk menyiapkan hatiku. Bapa tahu aku masih muda, masih ingin melihat dunia, masih ingin memijakkan kaki di banyak tempat. Bapa tahu dan kita tidak berdaya.
Aku tahu bapa…aku tahu bapa sedih akan nasibku dan merasa memegang tanggung jawab penuh terhadap masa depanku. Terhadap tubuhku yang tak lagi sempurna. Sebab dulu aku lincah. Bapa merasa berdosa membikin aku seperti ini karena bapa sendirilah yang dulu mencarikan dokter orthopedi untukku. Sebab bapa tidak kuat menyaksikan tubuhku yang tak lagi kuat menanggung sakit. Tetapi bapa, itu bukan salahmu sepenuhnya. Kebodohan kita bernama keluguan orang percaya. Kita tidak mencaritahu lebih jauh karena aku sudah terlanjur payah. Yang kau inginkan hanya kesembuhan bagiku meski bukan itu yang kita hadapi kini.
Bapa…kemarilah sebentar. Bantu aku tengok hatiku yang pernah halus. Kita berdiri di keluasan padang seorang diri.  Dengan rumput-rumput yang terpangkas rapi oleh gigitan kelinci. Lihatlah senja di sebelah kiri langit yang sempit itu bapa. Langit seolah menunggu kita mendekatinya. Tapi aku tahu menuju ke sana itu jauh dan aku sudah kelelahan membayangkan mendekatinya. Tidakkah engkau merasa keluasan alam ini memerangkap kita dalam segumpal kesedihan yang tak mampu kita urai?
            Tetapi dari jauh bapa, sudah kau dengar kelenengan yang membangunkan kesadaranmu. Kau suruh aku memperhatikan. Seperti gamelan menyelaraskan nada, begitu ungkapmu. Tetapi aku tidak mendengar apapun kemudian merasa kecewa, kesedihan yang dilapisi kesedihan. Aku tidak memiliki keberanian untuk membiarkan kenyataan menampakkan dirinya di depanku
Kau dengan sabar memintaku untuk mendengarkan. Ketakutanku yang terasa paling benar itu kau geser pelan-pelan. Kau dendangkan sebuah lagu untukku. Menyesuaikan nada dengan bunyi-bunyi senja. Tetapi ketakutanku belum lewat. Sebab sebentar lagi malam tiba. Dan dari balik pepohonan itu ada sekelompok raksasa mendengarkan lantunan bapa.
Dalam senja kita berangkulan bapa meski aku bukan lagi anakmu yang kecil. Engkau yang memelihara aku dengan cinta dan kesedihan yang sama. Di padang yang tidak terasa hijau dan sejuk. Ada ketakutanmu menjalari aku. Sebentar lagi malam dan kau tidak siap melepasku menemui pagi. Karena itu senja tidak terasa sebentar bersamamu. Seperti Hanoman yang menghentikan matahari. Bersamamu senja demi senja seperti terasa sehari.
Apakah Tuhan adil Bapa?
Kau berkata Tuhan adil bila kau melihat ke bawah. Tuhan juga adil meski engkau memandang ke atas. Dan ujarku, meski dendam menghidupkanku lebih daripada cinta. Meski benci menumbuhkan harapan yang hanya denganNyalah aku rela berbagi. Kecurigaan akan masa depan membikin aku jengah. Ketidaknyamanan ini memuakkan.
Tetapi engkau marah, baru sekali itu engkau marah. Kau mengulang cerita tentang Simon dari Kirene. Kau mengingatkanku tentang Tuhan Yesus. Tentang salib yang harus kita panggul. Tentang undangan bersama Dia yang masih berlaku. Kau berkata, aku tidak peduli apabila Alkitab tidak lagi mempesonamu. Tetapi lebih mudah untuk kembali daripada melarikan diri.
Bersamamu bapa, semua terasa sederhana dan memang selayaknya. Ketika hatiku menipis dan asam seperti jeruk nipis kau menemaniku melewati fase itu. Bersamamu bapa, tidak masalah berapa banyak waktu yang kita butuhkan untuk sampai pada pemenuhan tentang berserah dan mengucap dengan ikhlas : ya sudahlah.
Pernah terlintas dalam hidupku bahwa sebuah cerita tidak mesti selesai. Tetapi aku butuh ending. Aku butuh tahu sebab aku perlu merasa pasti. Kemudian apa artinya sembuh? Tuhan tidak pernah menjanjikan kamu bahagia mengikutinya, barangkali ia benar. Tetapi ia menjamin akan bersamamu sampai akhir zaman. Ini bisa juga salah. Tetapi selalu ada kesempatan untuk kembali. Selalu ada moment-moment di mana dirimu merasa perlu kembali. Selalu tercipta kekosongan di hatimu yang berdenyut-denyut minta dipenuhi. Kamu tahu itu meski menyangkalnya berulang kali. Ada masa di mana kemarahan tidak menjauhkanmu darinya. Sebab kamu tahu meski menyangkalnya, perpisahan dengannya tidak membuat hidupmu kian teratur. Dan dalam kemelut yang hanya dirimu merasai, kamu mengakui bahwa dirimu perlu dipenuhi. Karena itulah akhirnya kamu kembali. Karena itulah aku kembali.
Sampai akhirnya aku mampu mendoakan dokter Lutfi. Supaya hanya aku, pasien terakhir yang ditelantarkan dan dibiarkan pada informasi tak sempurna. Sampai akhirnya aku bersyukur terhadap apa yang kumiliki untuk menjalani hidup yang lebih tenang, tentram dan lapang. Sampai akhirnya aku memohon pada Kristus-ku supaya pasien-pasien lain yang terlanjur tanpa harapan bisa berdamai dengan hati dan menemukan jalan yang sudah kau persiapkan. Sampai akhirnya timbul kesadaran, bahwa tidak semua doa  dikabulkan tuhan. Tidak semua sedih itu perih. Kau ingin aku bertumbuh dalam Kristus sepanjang hari.
Aku pulang hari ini bapa. Dengan tubuh yang tidak lagi utuh. Dengan hati yang lebih penuh. Rayakan pulangku bapa. Sebab hidup menyediakan mimpi yang lain.
Sebab itu hatiku bersukacita dan jiwaku bersorak-sorai, bahkan tubuhku akan diam dengan tentram. Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan. Engkau akan melimpahi aku dengan sukacita di hadapanMu.
Bapa, aku ingin mengenangmu dengan bahagia. Sewaktu semangatmu lebih terang dari pendar cahaya tubuhmu yang kian padam. Aku ingin mengenangmu dalam tawa. Sewaktu langkahmu masih pepat dan menimbulkan bunyi di tengah suaramu yang kian teredam. Aku ingin mengenangmu bersama cahaya. Sewaktu harapan memelukmu dan cinta menumbuhkan kenyataan pahit yang mampu kau acuhkan. Aku ingin mengenangmu sepanjang malam. Sewaktu iman terasa benar dan besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar