Minggu, 02 Januari 2011

fields of gold dan aroma kesedihan



FIELDS OF GOLD


You'll remember me when the west wind moves
Among the fields of barley
You can tell the sun in his jealous sky
When we walked in fields of gold

So she took her love for to gaze awhile

Among the fields of barley
In his arms she fell as her hair came down
Among the fields of gold

Will you stay with me will you be my love

Among the fields of barley
And you can tell the sun in his jealous sky
When we walked in fields of gold

I never made promises lightly

And there have been some that I've broken
But I swear in the days still left
We will walk in fields of gold
We'll walk in fields of gold

I never made promises lightly

And there have been some that I've broken
But I swear in the days still left
We will walk in fields of gold
We'll walk in fields of gold

Many years have passed since those summer days

Among the fields of barley
See the children run as the sun goes down
As you lie in fields of gold

You'll remember me when the west wind moves

Among the fields of barley
You can tell the sun in his jealous sky
When we walked in fields of gold
When we walked in fields of gold
When we walked in fields of gold


rasa-rasa patah hati itu yo koyo ngene..ketipu ilusi, jadi korban halusinasi (haallahh opo jan..) karena terus tenggelam. saya pernah ngerasain dan milih untuk gak takut sama hidup.

ini comotan file yang lalu, semoga berguna untuk mengingatkan bahwa tenggelam dalam rasa itu butuh kejujuran hati dan keberanian untuk menjatuhkan pilihan. gbu folks

***
Aku begitu menyukai lagu fields of gold, terutama versi yang dinyanyikan oleh eva cassidy. Ini menggetarkan sampai dasar hati. Ia mengorek kenangan yang terkatup rapat dalam hati. Kesedihan yang terasa manis. Perjumpaan yang diakhiri dengan jeda demi jeda panjang.kemudian kenyataan bahwa kami tak akan bertemu kembali. Dan ini menyisakan perih yang panjang bagiku. Perjumpaan yang terjadi hanya dalam khayalan. Ketika aku memutuskan sudah muak berkhayal, maka kesedihan kembali meluluhlantakkan diriku. Aku tak ingin terbangun tetapi aku lebih tak mau tertidur, karena aku menyadari aku hanya menipu diri. Siasat ini tidak pernah berhasil untuk membangkitkan semangatku bertemu dunia kembali, siasat ini justru melumpuhkan hatiku dengan teramat parah untuk kesekian kali.

Sampai akhirnya aku tak lagi percaya pada indahnya mimpi. Aku kehilangan kemampuan untuk berharap. Aku menjadi menikmati rasa sakit dan kerinduan yang tertindih-tindih. Aku menyukai perasaan hatiku yang buntu. Aku mencari ketidakmungkinan yang tak mungkin aku temui atau wujudkan. Aku kecanduan menyakiti diri. Bukan dalam siksaan fisik, lebih pada tekanan psikologis. Tanpa menyadarinya ternyata aku menikmatinya. Dan terus menerus berkutat pada perasaan itu. Menjebak diriku dalam keadaan tak berdaya. Membiarkan diriku dihanyutkan perasaan getir menghadapi realita. 

Jauh dalam diriku, aku merindukan dipilih.tetapi diriku yang satu lagi menikmati kesendirian dan merasa bersalah. Ia menikmati perasaan pengampunan. Ia menikmati perasaan dicekam dan diterkam kemarahan. Ia menodongku dengan banyak pertanyaan kelewat pintar yang tak mampu kujawab saat ini. Diriku ini seringkali mengganggu kesadaran pribadiku. Ia mengurungku dalam banyak sebab. Mengurung diriku yang ingin lepas dan bebas. Ia membelenggu aku dan aku senang menumpahkan resah dan kesah padanya. Kami sama saja, dua diri yang tak berdaya, yang mampu memberikan motivasi tetapi palsu. Ia tidak sanggup menguasai diri yang satu lagi. Tubuhku dipermainkan si diri yang sedang berdiri. 

Ada kesedihan yang tak berujung. Ada ujung yang tak bertemu. Ada pertemuan yang tak terjadi meski pernah hampir jadi. Ada kepura-puraan yang dulu terasa begitu lembut dan mondo-mondo meski keriangan yang terrjadi bukan tipuan.  Pernah ada masa aku menunggunya dalam debar hati paling halus. Pengharapan dan kerinduan yang tulus.lepas hujan di sore hari. Semburat menari. Dulu elok dan bersih. Naif yang tidak diakui. 

Perjalanan panjang untuk menemukan diriku kembali. Yang lebih kokoh. Mempersatukan 2 diri dalam keberadaan diri yang selalu berseteru meski melengkapi dengan kelewat akrab. Ada masanya pemenuhan itu mencapai titik klimaksnya. Di masa aku kehilangan kesadaran dan tak penuh-penuh. Kebocoran itu tak terbendung dan tak terperbaiki. Ia memperbaiki dirinya sendiri perlahan dan memakan waktu lama. Menumbuhkan kesadaran seperti menginstall ulang kepecayaan. Ini bukan perkara mudah dan masih berlaku. Karenanya setiap kali terputar kenangan, hatiku kembali jadi kayu rapuh. Memantapkan diri adalah perjuangan panjang, menjadikannya lentur seperti rotan adalah hal yang terasa sangat mustahil.

Ada kesedihan yang tak teratasi. Aku kehilangan kemampuan untuk mengenali diriku. Ini diri. Ia berlari seorang diri. Ia tak dapat mempertahankan segalanya sendirian. Ia berputar dalam labirin paling indah. Hatinya barangkali mengetuk, bersuara sepanjang hari. Tetapi ia tidak berdaya dalam ketidakberdayaannya. Diri ingin menyudahi. Diri ini sampai pada akhrinya. Tetapi diri tidak mampu. Diri tak lagi kenal dunia. Diri merasa cahaya tiba-tiba hilang. Ia berdiri dalam kekosongan tiada ampun. Diri merasa perlu berdoa. Tetapi ia tidak mengerti mengucap. Diri coba ingat. Coba ingat diri. 

Aku ingat pernah mencintai seseorang dengan tulus. Meski kata orang itu bukan cinta. Tetapi aku tahu, itu memang cinta. Ketika aku belajar untuk menyukai seseorang lagi, aku tak bisa. Sebab dulu pernah ada sosok sempurna yang belum tergantikan. itu ilusi. bukan tak bisa, tapi tak mau (berani).

hei mas, kau memberikan pelajaran paling berarti dalam hidupku. 
kita tidak boleh memaksa.
aku pernah mencintaimu.
dan sekarang sudah tidak apa-apa, karena aku mengakuinya..
mengakui betapa berartinya hidup kita masing-masing.
terimakasih karena kau mengajariku arti penyesalan.
bukan tentangmu..sungguh..tapi tentang waktu yang tak kan kembali.

5 komentar:

  1. Jika memang harus menyemu dan makin layu, bersediakah hati manapun kan sanggup menerima dan masuk dalam sebuah kisah percintaan.

    Sebuah pelajaran. Indah utuk kita bisa menentukan dengan penuh keyakinan, pada seorang pendamping hidup yang suci, tanpa kita cederai perasaan nurani, antara diri dan padanya...


    Thank's....lagu yang indah...

    BalasHapus
  2. "Sampai akhirnya aku tak lagi percaya pada indahnya mimpi. Aku kehilangan kemampuan untuk berharap"
    kereeeeen banget

    BalasHapus
  3. ya, bukan lagi aku atau kamu, terlebih 'kita'.

    sebelum menyadari bahwa waktu memapah, perih bukanlah perih. getir bukanlah getir. yang ada hanyalah kenaifan yang dibungkus keinginan. mungkin bukan tidak percaya pada mimpi, tapi ketidakmungkinan yang tidak mungkin adalah kelimbungan kaki yang berpijak pada realitas atau mimpi.

    mondo-mondo. iya, tapi seru. "Seru ndasmu!" kata otakku.

    penyesalan selalu dianaktirikan. penyesalan selalu berjongkok di pojokan ruang tamu, sembari menggigiti kukunya. padahal penyesalan akan membelah dirinya, menciptakan pencerahan.

    pencerahan itu ada, saat kita memicingkan mata, dan tersadar bahwa waktu -dengan segala kebijaksanaannya- memapah dalam keada(-dan tiada)an.

    BalasHapus
  4. Keren kak, 2020 baru mampir maaf banget

    BalasHapus